Nevermind 48
Elda keluar dari lab . Tubuhnya bergetar setiap kali melangkah. Wajahnya dingin, bibirnya membiru, matanya besar lurus menatap ke depan seakan muak dengan semua yang ada di sekitarnya; keramaian, cahaya, suara-suara. Dia sudah jadi Ilmuwan terkenal yang penemuannya selalu di tunggu tunggu selama satu dekade.
saat Elda hendak ke mobil, tiba tiba dia teringat sesuatu yang sangat penting untuk penelitiannya. Orang Orang dan wartawan terheran-heran, mereka butuh waktu beberapa detik sebelum menyadari bahwa itu situasi yang menguntungkan untuk liputan mereka.
Elda berdiri di dekat mobilnya, sementara pertanyaan pertanyaan para wartawan terdengar seperti beatbox. Elda tak berkedip dan masih memikirkannya. Sopirnya sampai keluar dan berkata setengah berteriak agar dia segera naik.
“Sebentar” katanya sambil mendorong para wartawan. Para wartawan makin girang, bahkan sekarang orang-orang yang lewat ikut mendekat.
Elda jadi kerepotan, dia berusaha menuju tempat sesuatu yang dipikirkannya itu. Dia putuskan untuk masuk ke mobil dan meminta sopir berangkat.
Tapi sopir itu juga sudah tidak ada. Dia menengok ke luar lewat jendela untuk mencari si sopir. Kerumunan orang makin luas dan dia tidak melihat tanda-tanda adanya si sopir. “Ah, sial. Ke mana dia,” serunya sambil membungkuk ke depan untuk melihat adakah kunci mobil masih tergantung di tempatnya.
Ternyata ada. Dia segera pindah ke kursi depan
Mobil bergerak. Orang-orang mengikuti, sebagian wartawan menghadang. Sulit baginya keluar dari kerumunan kecuali mau mengambil risiko dengan menabrak wartawan wartawan itu. Dan risiko itulah yang diambilnya. Dia tekan gas hingga orang-orang di sekitarnya terbantai. Beberapa orang terjengkang di aspal, beberapa yang lain tersangkut di sela-sela batang pohon.
Elda tidak berhenti. Polisi pasti akan datang ke rumahnya, memeriksa insiden mengemudi secara ugal-ugalan itu. Namun dia tidak begitu peduli, pikirannya masih tersangkut pada sesuatu itu, Sesuatu yang penting untuk penelitiannya.
Elda tidak memperhatikan betapa sepinya jalanan. Dia sudah memasuki jalan raya utama yang biasanya tak pernah sepi dari kendaraan. Mesin-mesin bergerak dua puluh empat jam di jalanan, kerja dan pesta terjadi bergiliran, kadang bersilangan, kadang berbenturan. Tapi malam itu tak ada kendaraan yang terlihat. Hanya mobil Elda yang melesat sendirian seperti peluru. Bangunan yang terang benderang segera padam lampunya ketika mobil Elda melewatinya.
ketika ponselnya berdering. “Halo. Iya, tidak perlu menunggu, Ibu pulang terlambat,” katanya.
Dari seberang anaknya bertanya, “Apakah menurut ibu sebaiknya kita kubur saja di ruang bawah tanah?”
Apa? Apa yang dikubur?”
“Ah, aku kira Ibu sudah tahu. Tadi ada perempuan membawa seorang laki-laki yang terluka. Perempuan itu bilang Ibu yang menabrak laki-laki itu. Dia bisa menyebut nomor mobil ibu, dia bahkan punya nomor ponsel ibu. Jadi aku percaya ceritanya. Sekarang laki-laki itu tampaknya sudah mati.”
“Ah, baiklah. Biarkan dia di sana sebentar. Aku akan segera sampai.”
“Ibu nyetir sendiri?”
“Iya.”
Ke mana supir ibu?”
“Ibu tak tahu. Nanti saja ibu ceritakan semuanya.”
“Baiklah. Sampai ketemu. Oh ya, nama perempuan it H+#9#()#! Ibu kenal?”
Ponsel dimatikan. Saat itu Elda baru menyadari jalanan yang ajaib sepinya. Dia tidak bisa lagi menandai arah. Dia melihat peta digital tapi keterangan di peta itu tidak sama dengan yang dilihatnya.
Sesampai di sebuah jembatan –dia tidak tahu jembatan apa itu- Elda melihat tiga orang berkumpul mengelilingi api. Dia merasa harus bertanya. Dia tidak mau tersesat sepanjang malam. Dia tepikan mobil di belakang orang-orang itu. Sorot lampu mobil menerangi sekitar.
“Permisi. Saya hendak ke kawasan Nevermind, apakah saya berada di jalan yang benar?”
Salah seorang dari mereka berkata, “Anda bisa ke mana-mana melalui jalan ini.”
“Ah iya, tapi saya merasa sedikit hilang arah. Bisakah saya diberi petunjuk ke arah mana saya harus berjalan?”
Orang yang lain berkata. “Tidak ada jalan lain. Anda sudah berada di jalan yang benar. Lurus saja. Nanti anda akan melihat tandanya.” “Betul, betul,” kata yang lainnya lagi.
Satu orang yang belum bicara tiba-tiba berdiri dan menghampiri Elda. Elda bergerak mundur. Orang itu menyodorkan sebuah kotak tipis segi empat. “Saya punya kompas, pakailah,” katanya. Ketika Elda menatap wajah orang itu, tiba-tiba dia merasa aneh. Kepalanya seperti hendak mengangguk-angguk sendiri.
Elda menerima kotak itu lalu setengah berlari masuk ke mobil dan kembali melaju. Memang tak ada jalan lain. Jalan ini lurus, tanpa simpang dan tak kelihatan ujungnya. Sambil menyetir Elda memperhatikan kotak kecil pemberian orang tadi. Di permukaan kotak ada potret anak perempuan sedang mengejar kupu-kupu.
Tiba-tiba ponselnya kembali berdering. Itu anaknya. “Halo, halo. Ibu tersesat. Bisakah kamu bantu Ibu mencari arah?” Anaknya hanya tertawa-tawa. Suaranya tak begitu jelas, namun samar-samar Elda bisa mendengar orang-orang menyanyikan lagu ulang tahun. Elda melihat jam digital di mobil, sudah lewat tengah malam. Dia baru ingat, hari ini usianya tepat empat puluh delapan tahun.