Mimpi jadi segalanya
Mereka memberi tahu aku sejak kecil bahwa aku bisa menjadi apa pun yang aku inginkan. Astronot, dokter, ilmuwan, musisi. Tapi, yang tidak mereka beritahu adalah bahwa aku tidak bisa menjadi segalanya. Dalam perjalananku menjadi dewasa, pertanyaannya yang tadinya, "Kamu ingin jadi apa?" berubah menjadi "Apa yang akan kamu pilih?"
Bagi aku yang bermimpi besar —terlalu besar, ini adalah penyempitan pilihan yang terasa seperti penyiksaan. Bagaimana aku bisa memilih? Bagaimana bisa aku memilih untuk melepaskan kehidupan yang tidak dan tidak akan pernah aku jalani?
Aneh. Seharusnya sesuatu kita buang ketika kita sudah memilikinya, kan? Tapi cita-cita dan mimpi adalah pengecualian. Aneh.
Waktu, uang, dan kesempatan sangat membebani bagiku. Ini bukan hanya tentang apa yang aku inginkan, ini tentang apa yang mampu aku beli dan apa yang dapat aku capai.
Pikiran untuk memilih satu identitas terasa seperti pengkhianatan. Bagaimana aku bisa membatasi diri pada satu identitas saja ketika ada begitu banyak hal yang bisa dipelajari, begitu banyak hal yang harus dilakukan, dan begitu banyak cara untuk meninggalkan jejak di dunia?
Namun hidup memiliki batasnya, kan? Batas waktu salah satunya. Aku hanya memiliki waktu hidup yang terbatas, waktu dalam sehari yang terbatas. Setiap jalan yang aku pilih membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk belajar, berlatih, dan berdedikasi. Untuk unggul dalam satu bidang sering berarti mengabaikan bidang lainnya.
Lalu ada batasan finansial. Kuliah itu mahal. Untuk kuliah di satu bidang saja banyak yang kesulitan. Tidak semua orang punya hak istimewa untuk menjelajahi banyak bidang atau memulai dari awal jika mereka berubah pikiran. Bagi banyak orang, pilihan gelar dikaitkan dengan kelangsungan hidup. Karier mana yang akan membiayai tagihan? Karier mana yang akan membahagiakan keluarga?
Namun, aku menolak untuk percaya bahwa memilih satu jalan berarti mengabaikan semua jalan lainnya. Mungkin aku tidak bisa menjadi segalanya. Tetapi itu tidak berarti aku tidak bisa menjalani banyak kehidupan dalam satu masa hidup.
Ambil contoh menulis. apapun pendidikan yang aku ambil, aku tetap bisa menulis. Menulis tidak memerlukan gelar; menulis membutuhkan keinginan untuk memvalidasi perasaan Aku dapat menulis tentang sains, atau perilaku manusia, atau keindahan kehidupan sehari-hari yang tenang. Menulis dapat dilakukan bersamaan dengan profesi apa pun, ke mana pun kehidupan membawaku.
Aku jadi sadar bahwa hidup bukanlah jalan lurus, melainkan jalan berliku dengan banyak stasiun pemberhentian di sepanjang jalan. Kuliah hanyalah salah satu stasiun perhentian, bukan tujuan akhir. Meskipun aku hanya dapat memilih satu jurusan dan satu karier dalam satu waktu, aku masih memiliki tenaga untuk menjelajah.
Aku mungkin tidak bisa menjadi semua yang aku impikan. Aku mungkin harus membuat pilihan yang sulit sebagai syarat terbentuknya identitas, melepaskan beberapa jalan untuk menempuh jalan yang lain. Namun, aku tidak akan membiarkan batasan dunia membatasi keinginanku.
Aku akan menulis, meskipun tidak ada yang membaca. Aku akan belajar, meskipun aku tidak pernah mendapatkan gelar. Aku akan bermimpi, meskipun mimpi-mimpi itu belum selesai.
Aku akan bahagia, selalu bisa tersenyum, dan menciptakannya.